Biofuel Energy Lewati Target Realisasi
Kementerian ESDM menargetkan realisasi biofuel energy sebesar 13,9KL hingga tahun 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan bahwa Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan realisasi biofuel energy hingga tahun 2025.
Tahun 2021 ini Dadan memproyeksikan realisasi Mandatori biofuel bisa melewati target yang ditetapkan, yaitu 9,2 juta KL. Hal tersebut disebabkan pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan proyeksi sebelumnya.
Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) terus mendorong tingkat pemanfaatan bahan bakar nabati.
“Kementerian ESDM sudah ada roadmap sampai 2035 biodiesel supaya terjaga dengan baik. Kami juga memastikan bahwa pemanfaatan ini melibatkan petani sehingga mendapatkan manfaat dari program mandatori biofuel energy” ujar Dadan seperti dikutip dari Kontan, Rabu (17/11).
Pemanfaatan biofuel energy sudah dilakukan oleh PT Pertamina. Dadan menegaskan terus mendorong Pertamina menjalankan program biofuel energy berbasis hydrocarbon yang sudah tertuang di roadmap hingga tahun 2030.
Pada September 2021, Menteri ESDM meluncurkan bioavtur pesawat terbang yang sekaligus menunjukkan Indonesia sudah bisa memproduksi bioavtur sendiri.
“Untuk berbasis hydro karbon, di Plaju output-nya bioavtur. Di Cilacap sedang berjalan, termasuk pengembangan katalis di Cikampek,” kata Dadan.
Beberapa hal yang dipersiapkan terkait pemanfaatan Green fuel dengan kilang adalah menyusun timeline persiapan implementasi Beyond B30. Selain itu, menyepakati spesifikasi untuk percampuran pada Beyond B30. Kemudian adalah memastikan ketersediaan feedstock dan kesiapan badan usaha.
Selanjutnya memastikan industri penunjang biofuel energy, mempersiapkan regulasi pendukung, mempersiapkan roadtest yang melibatkan stakeholder terkait. Penting untuk memastikan ketersediaan pendanaan/insentif. Terakhir adalah memastikan infrastruktur pendukung dan melakukan sosialisasi secara masif.
Koordinator Pengolahan Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM, Muhidin mengatakan bahwa kedepan, pertumbuhan ekonomi, penduduk, dan perkembangan yang ada kebutuhan migas meningkat.
“Dari sisi volume sangat besar, harus diambil langkah strategis untuk mendukung dicapainya kedaulatan energi. Kalau kita tetap bergantung pada energi fosil yang berkebutuhan pada bahan bakar sangat besar,” kata Muhidin.
Muhidin juga mengatakan bahwa pengembangan kilang dan grass root refinery (GRR) Tuban akan mengurangi impor Bbm. Dengan cara pemanfaatan biofuel sehingga ketergantungan pada impor BBM juga akan berkurang.
“Di Pertamina juga ada kilang biorefinery. Ini terobosan bagus dengan bahan baku dari CPO maupun RBDPO (refined, bleached and deodorized palm oil). Ketergantungan juga akan berkurang dan selain itu produk yang dihasilkan ramah lingkungan sehingga emisi dari gas buang dan industri menjadi lebih bagus,” ungkap Muhidin.
Salis S. Aprilian, Vice Chairman of Indonesian Gas Society (IGS) menjelaskan bahwa minyak bumi tidak hanya BBM tapi juga memproduksi petrokimia. Dengan integrasi dan konversi minyak di seluruh dunia akan bertransformasi, karena kedepannya ada 3 yang harus ditakuti pengusaha bisnis energi.
“Dekarbonisasi, desentralisasi, dan digitalisasi. Teknologi saat ini akan mendisrupt semua pelaku pengguna energi sehingga harus comply. 3D ini mengatur peran di feature energy,” ujar Salis.
Senada dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian juga akan fokus untuk meningkatkan hilirisasi berbasis sumber daya alam. Termasuk di sektor agro, agar dapat terus memacu nilai tambah ekonomi dari bahan baku lokal tersebut. Salah satunya adalah industri pengolahan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan Indonesia menjadi produsen produk turunan minyak sawit di dunia pada tahun 2045. Hal ini juga akan membuat Indonesia menjadi penentu harga CPO global. Pasalnya, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor CPO di kancah global sebesar 55 persen.
Disamping itu kenaikan harga komoditas CPO diharapkan bisa menjadi peluang untuk pengembangan industri hilir nya. Hal ini akan berdampak pada multiplier effect yang luas bagi perekonomian nasional, khususnya penerimaan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia harus bisa menghentikan ekspor minyak sawit mentah atau CPO. Tujuannya agar komoditas tersebut dapat diolah menjadi produk turunan yang bernilai tambah tinggi.
Baca juga : COP 26 Bawa Investasi Hijau