Minyak Goreng, Harga Di Goreng Makin Tinggi
Mahalnya minyak goreng sebenarnya sudah terjadi sejak 3 bulan lalu. Padahal Indonesia termasuk produsen terbesar CPO didunia.
Berdasarkan Pusat Informasi Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga minyak goreng pada 9 Januari 2022 lalu, per kilogramnya dijual dikisaran Rp 19 ribu sampai dengan Rp 24 ribu.
Di Gorontalo, harga minyak goreng bahkan menembus Rp 26.350 per kilogramnya. Padahal sebelum melonjak, harga minyak nabati ini berkisar Rp 11.000 hingga Rp 13.000.
Lalu, apa penyebab kenaikan harga minyak goreng?
1. Kenaikan Harga CPO Dunia
PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) atau Inacom mencatat, harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) per 19 Januari 2022 menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah, mencapai Rp 15 ribu per kilogram (Kg).
Direktur Inacom Rahmanto Amin Jatmiko mengatakan, harga CPO per 19 Januari naik 6,23% dibandingkan pada 3 Januari Rp 14.120 per Kg.
“Ke depan, suplai masih ketat, sedangkan permintaan tetap bahkan cenderung naik,” ujar Amin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Rabu (19/1).
Amin menyebut, terdapat empat faktor yang menyebabkan harga CPO terus meningkat, yaitu :
- Turunnya pasokan CPO dunia. Pandemi telah menimbulkan permasalahan tenaga kerja di industri sawit Malaysia karena seluruh tenaga kerja Indonesia dipulangkan. Hal ini membuat Malaysia sebagai produsen terbesar CPO kedua, turun 6% pada 2021.
- Pemangkasan pajak impor CPO oleh India. Kebijakan ini dilakukan India untuk melawan naiknya harga minyak kedelai akibat pasokan minyak kedelai dengan harga rendah dari Amerika Selatan.
- Spekulasi Commodity supercycle atau siklus super harga komoditas. Harga CPO yang konsisten naik sejak 2020 membuat beberapa pedagang komoditas meramalkan harga CPO terus meningkat hingga medio 2022.
- Solidnya harga minyak mentah dan minyak nabati lainnya. Meski India telah menurunkan pajak impor, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meramalkan konsumsi minyak kedelai di India akan meningkat. Pada saat yang bersamaan, sebagian perkebunan kedelai di Amerika Selatan terancam gagal panen karena cuaca ekstrim.
Wakil Ketua Umum III GAPKI, Togar Sitanggang menyebut faktor yang berpotensi menurunkan harga CPO tahun ini. Pertama, tercapainya target produksi CPO pada semester 1-2022. Produktivitas kebun di Indonesia yang minim pada tahun lalu karena masalah pupuk menjadi salah satu penyebab utama naiknya harga CPO pada tahun lalu. Permintaan pasar global naik sejalan pemulihan ekonomi tak dapat dipenuhi oleh negara-negara produsen CPO lainnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan kepada Kompas, Jumat (21/1), bahwa pasokan global CPO menyusut tak terlepas dari situasi pandemi, terutama di Malaysia.
2. Krisis Energi dan Distribusi selama Pandemi
Krisis energi disejumlah kawasan seperti di Uni Eropa, China, dan India ditenggarai memicu peralihan sumber energi ke minyak nabati melalui energi terbarukan.
Ketika sumber lain minyak nabati relatif lebih terbatas karena anjloknya produksi. CPO jadi pilihan yang tersedia dan relatif lebih murah.
Artinya, pasokan CPO untuk tujuan penggunaan konsumsi seperti minyak goreng ini pun semakin menyusut. Lagi-lagi hukum ekonomi berlaku.
Adapun harga internasional CPO juga terdampak oleh situasi pandemi dari sisi kelancaran distribusi bersamaan dengan menurunnya frekuensi pelayaran yang berakibat berkurangnya volume kontainer yang terkirim.
3. Dugaan Kartel Minyak Goreng
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada praktik kartel ditengah meroketnya harga minyak goreng.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyebutkan ada beberapa indikasi perilaku kartel dibalik kenaikan harga.
“Saya curiga ada praktek kartel atau Oligopoli. Dalam Undang-Undang tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,” ujar Tulus dilansir dari Kompas.com, Rabu (12/1)
Tulus menilai indikasi kartel paling tampak adalah kenaikan yang serempak dalam waktu bersamaan. Disisi lain, selama ini minyak goreng yang beredar dipasaran juga dikuasai segelintir perusahaan besar.
Senada dengan YLKI, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Ukay Karyadi mengatakan, kartel tersebut terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga.
“Ini dinaikkan relatif kompak, baik di pasar tradisional, ritel modern, di pabrik, perusahaan menaikkan bersama-sama walaupun mereka memiliki kebun sawit sendiri-sendiri. Perilaku ini bisa dimaknai sebagai sinyal apakah terjadi kartel karena harga, tapi ini secara hukum harus dibuktikan,” ujar Ukay
Menghilang untuk Kembali
Pemerintah secara resmi menerapkan kebijakan satu harga minyak goreng yakni sebesar Rp 14 ribu per liter yang berlaku sejak Rabu (19/1/2022).
“Pemberlakuan kebijakan satu harga untuk minyak goreng yakni sebesar Rp 14 ribu per liter akan dimulai pada hari Rabu tanggal 19 Januari 2022 pukul 00.00 wib diseluruh Indonesia,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, Selasa (18/1).
Namun khusus untuk pasar tradisional, dikatakan Airlangga akan diberikan waktu penyesuaian selambat-lambatnya 1 minggu dari tanggal pemberlakuan.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi mengatakan, sebagai awal pelaksanaan, penyediaan minyak goreng satu harga akan dilakukan melalui ritel modern yang menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Warga menyambut bahagia kebijakan satu harga tersebut, namun berdasarkan pantauan Kontenstore.com, mulai dari tanggal 22 Januari 2022 di peritel modern di kota Bekasi, minyak goreng tidak tampak di etalase toko.
Menurut pantauan Tribunnews.com, di Purbalingga banyak warga yang kesulitan mendapatkan minyak goreng satu harga tersebut.
Ternyata, menurut Tribunnews.com terungkap modus yang dilakukan oleh karyawan toko sehingga menjadi langka.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Purbalingga melakukan operasi di toko modern di Purbalingga. Dalam operasi tersebut, petugas menemukan sejumlah minimarket menyembunyikan dari display toko.
Ditengah masyarakat pun terjadi panic buying, menurut YLKI pemerintah salah dalam menjalankan strategi dan menerapkan kebijakan satu harga.
“Ini merupakan bentuk kesalahan strategi marketing pemerintah dalam membuat kebijakan publik, dan kegagalan pemerintah dalam membaca perilaku konsumen Indonesia,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi seperti dikutip dari Tribunnews.com, Senin (24/1).
Menurut YLKI, perilaku panic buying merupakan fenomena yang anomali dan cenderung sikap yang egoistik. Hanya mementingkan dirinya sendiri.
Pemerintah akhirnya membuat kebijakan larangan dan/atau pembatasan berupa kewajiban pencatatan ekspor untuk minyak sawit (CPO) dan minyak goreng. Dengan kata lain, setiap perusahaan yang akan mengekspor sawit wajib memiliki izin dari pemerintah.
Adapun kebijakan pemerintah itu untuk memastikan agar pasokan dalam negeri dipenuhi terlebih dahulu, terutama untuk pasokan minyak goreng yang disubsidi pemerintah.
“Mulai hari ini berlaku pencatatan ekspor CPO dan minyak goreng,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Wisnu Wardhana, seperti dilansir dari Republika, Senin (24/1)
Harapannya, dengan diberlakukan kebijakan pencatatan ekspor CPO dan minyak goreng, pasokan dalam negeri menjadi terpenuhi, sehingga harga kembali normal dan kelangkaan minyak goreng dapat teratasi.
Ironi negara produsen sawit terbesar didunia, dengan tingginya harga minyak goreng diselesaikan dalam drama klasik sembako yang naik, disubsidi, langka, kembali normal atau malah akan terjadi penyesuaian harga. (dari berbagai sumber)
Baca juga : Kaya Kelapa Sawit, Minyak Goreng Biang Kerok Inflasi