Outstanding Kredit Produk Multifinance Positif
Outstanding kredit investasi dan beberapa objek barang produktif mulai tumbuh positif. Industri pembiayaan (multifinance) mulai bisa bernafas lega.
Berdasarkan statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2021, total outstanding kredit (piutang pembiayaan) netto senilai Rp 358,96 triliun. Memang masih terkoreksi 2,9 persen ytd (year to date) ketimbang akhir 2020. Kabar baiknya, semua jenis kegiatan usaha sudah positif, kecuali pembiayaan multiguna senilai Rp 206,77 triliun (atau masih minus 7,05 persen ytd.
Pembiayaan investasi senilai Rp 111,17 triliun tumbuh 0,19 persen ytd, berhasil melanjutkan tren mulai positif sejak September 2021. Untuk informasi, outstanding kredit barang investasi yang diramaikan oleh segmen korporasi atau pelaku usaha mengalami penurunan. Sejak pandemi, dimana outstanding kredit berada di titik terendahnya ada di Juni 2021 senilai Rp 106,65 triliun.
Adapun pembiayaan modal kerja senilai Rp 28,15 triliun memiliki tren terus tumbuh sejak awal tahun. Kini, terus memuncak dengan kenaikan mencapai 14,3 persen ytd. Hal yang sama berlaku juga buat pembiayaan lain-lain berdasarkan persetujuan OJK. Walaupun nilainya kecil, tapi terus melesat dan kini naik 149 persen ytd ke Rp 439 miliar.
Terakhir, pembiayaan syariah secara umum naik 7,7 persen ytd ke Rp 12,41 triliun, ditopang oleh kenaikan semua jenis kegiatan didalamnya. Antara lain, pembiayaan dengan akad jual-beli mengambil porsi Rp 10,48 triliun, tercatat naik 5,47 persen ytd. Pembiayaan investasi senilai Rp 163 miliar atau naik 116 persen ytd. Sementara pembiayaan jasa senilai Rp 1,76 triliun, naik 17,38 persen ytd.
Fenomena bangkitnya pembiayaan untuk korporasi juga bisa diliat dari obyek pembiayaan. Dimana, walaupun total kategori barang produktif senilai Rp 100,97 triliun masih terkoreksi 5 persen ytd, beberapa jenis diantaranya sudah mulai naik.
Salah satu yang paling kentara adalah berasal dari mobil pengangkutan senilai Rp 41,38 triliun yang mulai positif 0,65 persen ytd pada bulan ini. Adapun alat-alat berat senilai Rp 27,85 triliun masih terkoreksi tipis 0,19 persen ytd. Menembus nilai terbaik sepanjang periode berjalan.
Barang produktif lain-lain senilai Rp 16,01 triliun juga mengalami peningkatan 3,22 persen ytd, walaupun tengah dalam tren menurun mulai Juni 2021.
Disisi lain, outstanding kredit dari barang produktif berupa mesin senilai Rp 8,19 triliun dan alat transportasi air senilai Rp 3,24 triliun. Masih terkoreksi masing-masing 11 persen dan 8 persen, karena keduanya masih berada pada sektor yang masih tertekan atas kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat akibat pandemi.
Ketua umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno sudah menebak bahwa kebutuhan outstanding kredit dari sektor produktif. Terutama pembiayaan modal kerja yang merupakan faktor penting untuk menahan industri multifinance tidak jatuh semakin dalam lagi di tahun ini.
“Biasanya rekanan dealer atau debitur pelaku usaha mengajukan pembiayaan invoice (anjak piutang), atau debitur pelaku usaha kecil yang baru mulai ada kerjaan lagi selama pandemi. Yang tadinya kecil dan usaha rumahan, sekarang sudah mulai butuh motor dan pick-up buat delivery, misalnya. Ini multifinance yang bantu fasilitasi pembiayaan,” jelasnya, dikutip dari Bisnis.com, Senin (6/12).
PT Mandiri Tunas Finance (MTF) sebagai pemain kredit mobil penumpang meyakini tren pertumbuhan kredit korporasi akan berimbas kepada tren kredit ritel.
“Segmen fleet atau corporate itu kalau bertumbuh, bisa turut menjadi indikator buat permintaan di ritel atau kredit barang konsumsi, terutama kendaraan, baik motor maupun mobil. Biasanya dua-tiga bulan kemudian (ritel) ikut tumbuh, karena perekonomian di suatu kawasan usaha tersebut mulai berjalan lagi,” ungkap Deputi Direktur MTF Albertus Hendi.
Direktur Keuangan PT BFI Finance Indonesia Tbk. (BFI Finance/BFIN), Sudjono menjelaskan bahwa kredit investasi yang tumbuh. Terutama dari alat berat dikarenakan faktor kenaikan harga komoditas. Industri lain masih sulit untuk menambah pembiayaan baru.
“Alat berat lebih prospektif sejalan dengan harga komoditas. Kalau yang buat mesin-mesin pabrik atau mesin non-alat berat, itu masih banyak yang sulit, bahkan masih masuk kedalam kategori restrukturisasi,” ungkapnya.
Baca juga : Tips Gaya Hidup Agar Bisa Merdeka Financial