Tes PCR Antara Tekan Penularan Covid Atau Bisnis Menggiurkan?
Tes PCR Covid 19 kini menjadi syarat untuk mereka yang melakukan perjalanan udara, maka kini kebijakan tersebut akan di perluas untuk seluruh moda transportasi.
Sontak kebijakan tes menimbulkan respon yang ramai dari masyarakat, pengusaha transportasi, bahkan anggota DPR. Bahkan keefektifan program vaksinasi menjadi sebuah isapan jempol dan mungkin timbul pemikiran vaksinasi hanya sebuah bisnis semata.
Keberatan sebagai pra syarat perjalanan pun mendapat keluhan dari INACA dan Kadin. Karena menurut mereka penerapan kebijakan tersebut tidak sejalan dengan level PPKM yang menurun di berbagai daerah.
Indonesia National Air Carrier’s Association (INACA ) dan kadin pun berharap kebijakan ini segera dicabut sebagai ketentuan syarat perjalanan terbaru. Hal tersebut tentu memberatkan bagi masyarakat dan pengusaha selain memperlambat roda perekonomian.
Sebelumnya pemerintah memperbolehkan penumpang pesawat bisa menggunakan tes antigen jika telah divaksin dosis kedua, hal tersebut berubah ketika harus menggunakan tes PCR yang diketahui masih dipatok dengan harga yang mahal.
Tak hanya itu, jika penurunan level namun di jawab dengan syarat perjalanan domestik yang diperketat tentu menjadi pertanyaan banyak orang. Bahkan dampak yang lebih luas bukan saja pada industri penerbangan tapi kepada sosial ekonomi nasional.
Dilansir dari detik , satgas Penanganan Covid 19 telah mengeluarkan aturan dn persyaratan terbaru untuk perjalanan domestic yang mewajibkan tes swab berbasis PCR bagi penumpang angkutan udara yang tercantum dalm SE No. 21/2021 Tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019.
Artinya setiap pelaku perjalanan dalam negeri wajib menggunakan aplikasi Pedulilindungi sebagai syarat melakukan perjalanan dalam negeri, dan efektif berlaku sejak Kamis, 21 Oktober 2021 lalu. Selain kartu vaksin penumpang juga harus memperlihatkan hasil negative tes PCR yang sampelnya diambil dalam waktu 2×24 jam.
Tes PCR juga berlaku untuk transportasi darat
Setelah memberlakukan tes PCR untuk transportasi penerbangan, kini pemerintah semakin luas menggunakan hasil tes PCR sebagai syarat perjalanan untuk transportasi darat, diantara adalah kereta api dan bus.
Bahkan rencananya pemerintah akan menerapkan tes PCR untuk seluruh transportasi darat, udara, dan laut selama libur Nataru. Hal ini tentu sangat berpengaruh bagi masyarakat. Karena harga tes PCR yang masih tinggi walaupun pemerintah akan menurunkan menjadi Rp.300 ribu.
Pengusaha transportasi pun meminta kepada pemerintah agar harga tes PCR disubsidi sehingga meringankan pemerintah. Walau pengusaha bus tidak menanggung biaya tes PCR, tetapi akan berdampak presentasi penumpang bus yang semakin menurun.
Menurut ketua Organda, harga tes PCR yang Rp 300 ribu tentu tidak sebanding dengan ongkos atau biaya bus tersebut. Pasalnya harga tes PCR lebih mahal dibandingkan tiket bus. Misalnya empat orang melakukan perjalan ke Yogya dengan harga tes PCR mencapai 1,2 juta sedangkan ongkos busnya hanya Rp.600 ribu.
Lantas harga berapa yang pantas untuk tes PCR?
Hingga kini belum ada yang mengetahui secara pasti harga komponen dalam tes PCR. Sementara itu, kementerian kesehatan hanya bisa mengikuti arahan Presiden jika harus menurunkan harga yang sebelumnya berada diangka Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
Meski beberapa waktu lalu telah diturunkan pemerintah menjadi Rp 900 ribu kemudian turun kembali menjadi Rp 500 ribu tentu menimbulkan banyak pertanyaan apakah dalam hal ini terdapat unsur bisnis bagi kelompok tertentu.
Belum lagi ketika Presiden Jokowi menekan untuk menurunkan harga menjadi Rp 300 ribu, tentu modal yang dikeluarkan untuk biaya berada dibawah 300 ribu. Bahkan kemenkes pun menyanggupinya untuk menurunkan harga menjadi Rp 300 ribu.
Penurunan harga berubah-ubah dan turun secara drastis ini tentu membuat banyak lembaga dan perorangan bertanya-tanya dibalik turunnya harga yang awalnya Rp 1-2 juta hingga saat ini menjadi Rp 300 ribu.
Angka penurunan yang tajam ini tentu menjadi pertanyaan siapakah yang diuntungkan harga selama ini? Sehingga tak heran jika ICW menyatakan bahwa keuntungan bisnis tes PCR ini telah mengantongi hingga Rp 10 triliun lebih selama pandemi.
Bahkan Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu curiga jika di Indonesia dijadikan ladang bisnis bagi oknum tertentu untuk meraup untung besar. Kecurigaan Said Didu memang cukup beralasan karena penurunan harga yang tidak masuk akal.
“Kewajiban PCR dengan turunnya harga mulai dari Rp 2 juta menjadi Rp 300 ribu meningkatkan kecurigaan terhadap ‘bisnis’ PCR,” tulis Said Didu di akun twitternyaSelasa (26/10/2021).
Bahkan Said Didu pun mengaku masih curiga harga yang ditetapkan Presiden Jokowi saat ini masih ada dugaan dimainkan karena ia yakin benar jika sebenarnya harga sekali pemeriksaan bisa dibawah Rp 300 ribu. Nah untuk membandingkan harga murah atau mahal maka dapat melihat dari harga di negara lain.
Dilansir dari bisnis.com, dari berbagai sumber yang dirangkum setidak ada negara yang menerapkan harga tes PCR dibawah harga yang ada di Indonesia. Salah satunya India yang menerapkan harga tes PCR sangat murah.
Kepala Menteri Delhi, Arvind Kejriwal melalui Twitternya pada 4 Agustus lalu mengumumkan bahwa pemerintah kota New Delhi menetapkan harga menjadi Rs 500 atau sekitar Rp 94.500 sedangkan untuk rapid antigen India mematok harga diangka Rp 300 atau sekitar Rp 56.500.
Sementara untuk di Yunani mereka memberikan tes PCR gratis yang dapat dilakukan di rumah sakit umum atau pusat pemeriksaan, tetapi juga sangat murah untuk dilakukan di kantor dokter swasta.
Jika melihat perbandingan dari India, tentu harga komponen berada di bawah Rp 94 ribu. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah benar dugaan ICW terhadap keuntungan dari harga yang menjadi bisnis yang menggiurkan?